Daeng Soetigna |
Angklung yang kita kenal sekarang
kebanyakan yang bernada Diatonis (do re mi) dan hal tersebut adalah kreasi dari
seorang Daeng Sutigna yang mungkin kita tidak tahu siapa beliau. Beliau bernama
lengkap Mas Daeng Sutigna kelahiran Garut tgl 13 Mei 1908.Nama panggilan
kecilnya adalah oetig lalu saat masuk asrama/sekolah biasa dipanggil
encle. Memang sejak kecil beliau memang menggemari Angklung dan setelah lulus
dari Kweekschool (1928), Daeng mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat
(1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan (1932-1942). Pada saat
mengajar di Kuningan inilah ia mempelajari seluk beluk angklung secara lebih
mendalam.
Untuk nama "Daeng"
sendiri,biasanya kan dipakai oleh orang makasar atau orang Bugis.Sebenarnya
Nama “Daeng” mempunyai riwayatnya tersendiri. Ayahnya mempunyai seorang
sahabat dari Makasar yang bergelar Daeng. Daeng dari Makassar ini sangat
pandai. Ketika itu ibunya sedang mengandung dan ayahnya berkata bahwa, “Kalau
anak yang dilahirkan laki-laki akan diberi nama Daeng, agar pandai seperti
sahabatnya itu”. Ketika ibunya benar-benar melahirkan bayi laki-laki, maka
bayi itu diberi nama Daeng Sutigna; nama Daeng diambil dari nama seorang
sahabat ayahnya yang orang Makassar itu.
Awal mula
hati beliau tergerak untuk membuat angklung adalah saat dua orang pengemis
datang kerumahnya di Kuningan tahun 1938 dan memainkan angklung pentatonis
(da mi na ti la da). Bunyi angklung tersebut membuat hatinya tergetar dan
membeli angklung pentatonis tersebut. Ketika angklung pentatonis itu ada di
tangannya, pikiranya mulai bekerja dan ingin membuat angklung diatonis.
Namun, secara teknis tidak bisa membuat angklung. Untuk mengatasi
persoalannya,beliau belajar kepada pakar angklung bernama Djaya.
Setelah bisa
membuat angklung,lalu beliau pun berupaya membuat angklung yang bertangga
nada diatonis. Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya
menguasai beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga
piano.
Daeng Sutigna
menganggap angklung diatonis lebih komunikatif untuk diajarkan kepada
anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan angklung renteng yang
dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang dibuat olehnya dimainkan
secara bersama, setiap orang memegang angklung yang membunyikan hanya satu
nada saja, harmoni tercapai dengan kerjasama yang rapih
Pada awalnya,
permainan angkung ciptaannya hanya dikenal di kalangan anak-anak Pramuka di
Kuningan. Selanjutnya, setelah angklung diatonis dikenal di kalangan Pramuka
sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung
diatonis bisa diterima dan diajarkan di sekolah.
Mendapatkan
kesempatan memainkan angklung ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati
pada 12 November 1946, yang saat itu dihadari banyak tokoh asing, baik dari
Belanda maupun pihak-pihak lainnya. kembali diminta Presiden Soekarno untuk
memainkan pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam
acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mounbatten, Panglima Tentara
Sekutu untuk Asia Tenggara, yang juga hadir dalam acara Perundingan Linggar
Jati.
Pada tahun
1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka,
Bandung. Daeng Sutigna juga diminta membuat konser angklung yang dikreasinya
itu. Sejak itu, angklung diatonisnya sering di pertunjukan dalam acara-acara
resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), dimana
ia memimpin pertunjukan kesenian termasuk angklung di paviliun Indonesia
selama 8 bulan. Dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Belanda dan
Perancis. Tahun 1967, ia mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di
berbagai kota di Malaysia.Dan Kita pun sekarang patut berbangga karena
angklung telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Bangsa pada tahun
2010 lalu dan tak terlepas dari jasa beliau.
Atas
jasa-jasanya mengembangkan musik angklung, Daeng Sutigna, yang pernah
mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini, mendapat
piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), piagam penghargaan dari
Gubernur DKI Jakarta (1968) Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto
(1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional dari
Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya. Daeng Sutigna wafat di Bandung 8
April 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,Cikutra,Bandung.
C. Udjo Ngalagena
Udjo Ngalagena (lahir 5 Maret 1929 – meninggal 3 Mei 2001 pada umur 72 tahun) adalah seniman angklung asal Jawa Barat, Indonesia dan pendiri Saung Angklung Udjo. Ia merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi. Pada usia
antara empat sampai lima tahun, Udjo kecil sudah akrab dengan angklung
berlaras pelog dan salendro yang kerap dimainkan di lingkungannya dalam acara
mengangkut padi, arak-arak khitanan, peresmian jembatan, dan acara-acara yang
melibatkan keramaian massa lainnya.
Berdirinya Saung Angklung Udjo tidak dapat dilepaskan dari peran Udjo Ngalagena (5 Maret 1929 – 3 Mei
2001) sebagai pendiri Saung Angklung Udjo. Bahkan studi tentang Saung Angklung Udjo dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan studi tentang biografi Udjo
Ngalagena dan keluarga.
Selain belajar angklung Ia juga mempelajari pencak silat, gamelan dan
lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari lagu-lagu
bernada diatonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda. Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika Ia mulai terjun
sebagai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam
kemampuannya Ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya. Teknik
permainan kacapi dan lagu-lagu daerah Ia belajar dari Mang Koko. Gamelan Ia pelajari dari Raden Machjar Angga
Koesoemadinata, dan untuk angklung
do-re-mi (diatonis) Ia dapat bimbingan dari Pak Daeng Soetigna (pencipta
angklung bernada Diatonis).
Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian diolahnya dalam bentuk paket
pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian angklung di sanggarnya
(Saung Angklung Udjo). Kehadiran sanggar ini merupakan suatu sarana bagi Udjo
untuk dapat mencurahkan jiwa kependidikan yang dimilikinya melalui seni
angklung, sekaligus sebagai sarana penyaluran jiwa kewirausahaannya dengan
menjual pertunjukan maupun alat musik bambu.
Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk menikmati
sajian pertunjukan kesenian tradisional berkwalitas tinggi khas Jawa Barat,
tak jarang mereka selalu ikut larut dalam permainan angklung dan tarian
anak-anak belia. Dari mulai Wayang, Tarian dan Angklung mampu membuat takjub
para pengunjung untuk datang berkali-kali ke Saung Angklung Udjo. Jiwa
entertainer Udjo mampu menyatukan antara kesenian, anak-anak dan lingkungan
menjadi sebuah sajian pertunjukan yang harmonis di depan para pengunjungnnya.
Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para putra-putrinta.
Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang meneruskan SAU di bawah
bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan pun Udjo sudah jarang untuk
memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali apabila sedang sehat Udjo muncul
dalam pertunjukan yang dipimpin oleh para putranya sekedar mengucapkan salam
ke pada para pengunjung dalam berbagai bahasa (Inggris, Belanda, Prancis,
Jerman serta negara lainnya).
Sepeninggal Udjo Ngalagena ( 03 Mei 2001 ) SAU mulai diteruskan oleh para
putra - putri. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para touris
dalam dan luar negeri, anak-anak masih riang gembira memainkan angklung.
Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir di setiap akhir
pertunjukan.
" What You Are, What Job You Have Choosen, Do It Well, Do It With
Love, Without Love, You Are Dead Before You Die " Udjo Ngalagena ( 05/03/1929 – 03/05/2001 ).
|
cobalt vs titanium drill bits - The Tech Insider
BalasHapusFor this rocket league titanium white reason, we are aftershokz trekz titanium not saying that the slot game microtouch titanium trim walmart is completely 토토커뮤니티 free. However, if you want to know more about suunto 9 baro titanium cobalt vs titanium slots,