Bab 1. Sejarah angklung
A.
Asal usul
angklung
Tidak ada
petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah
digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal
penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme
dalam kebudayaan Nusantara.
(Gb 1. Anak-anak
Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.)
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk
pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul
terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai
makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan
(hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak
lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung
diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi
agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat
musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi
temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa
semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya
pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan
angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya
di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu. Selanjutnya lagu-lagu
persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan
seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung
yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan
yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan
menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia
ke Thailand, antara lain
ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh
angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog,
salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada
banyak orang dari berbagai komunitas.
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional
berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat
dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada
tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat
dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam
suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk
menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi
Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar